Monday, April 20, 2015

TULISAN 2 (BAGIAN 2) SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2

IVAN F. WICAKSONO
3EA24 / 13212867



SILSILAH


Pikiran Rakyat, 2 Okt 2010. Ajip Rosidi: Penulis, budayawan.

Istilah “silsilah” niscaya memberikan asosiasi kepada nama-nama raja dengan leluhur serta keturunannya. Padahal, hubungan silsilah adalah milik semua orang. Setiap orang dapat menyusun silsilahnya sendiri, misalnya mulai dari buyut – bapak kakeknya – sampai pada buyut – anak cucunya. Masing-masing disertai dengan nama saudara-saudaranya serta anak cucu mereka. Niscaya silsilah itu akan merupakan batang pohon yang rindang, apalagi kalau masing-masing orang mempunyai banyak anak.

Dalam setiap bahasa, setiap hubungan antara keluarga dalam silsilah niscaya ada namanya yang khusus. Dalam bahasa Indonesia yang saya ketahui, ke atas silsilah mentok pada “buyut”. Saya tidak tahu disebut apa ayah dan kakek buyut dalam bahasa Indonesia atau bahasa Melayu. Secara umum ada kata moyang atau nenek moyang. Kata moyang menurut KBBI berarti “nenek (ayah, ibu, dsb.); leluhur”. Tidak jelas artinya apa. Dalam KUBI (Badudu-Zain), moyang diartikan “orang tua kakek atau nenek; nenek moyang, para leluhur yang sudah meninggal; semua datuk yang terdahulu”. Dalam kedua kamus itu, ada buyut. KBBI menerangkan buyut sebagai “1. ibu dr nenek (urutannya: bapak/ibu, nenek, buyut. 2. anak dr cucu”. Sementara KUBI menerangkan buyut sebagai “1. ibu dr nenek, 2. anak dr. cucu.”

Yang menarik ialah bahwa kedua kamus itu menerangkan arti buyut sebagai “ibu dari nenek”. Menarik karena keduanya tidak menyebut tentang “ayah dari nenek atau kakek”. Apakah dengan demikian buyut itu hanya berarti “ibu dari nenek”, sedang ayah dari nenek tidak? Bagaimana dengan “ibu dari kakek”? Tidak termasuk buyut jugakah? Apakah ada sebutan khusus yang lain untuk “ayah dari nenek” dan “ibu dari kakek”?

Dalam Kamus Dewan yang disusun oleh Dr. Teuku Iskandar (cetakan kedua, Kualalumpur, 1984), lema buyut diartikan “orang tua atau ibu kpd moyang (yakni datuk kpd datuk)”. Sementara lema moyang diartikan sebagai “bapak atau ibu kpd datuk, nenek bapak atau ibu” sementara “nenek-moyang” diartikan sebagai “datuk-datuk sebelum kita, leluhur”.

Perkataan datuk tidak begitu populer di Indonesia kecuali bagi orang-orang Sumatra. Menurut KBBI, datuk adalah “bapak dr orang tua kita; kakek, aki” sedangkan menurut KUBI, datuk adalah “nenek laki-laki (nenek moyang)”. Dalam Kamus Dewan, datuk diartikan “bapak kpd ayah dan ibu seseorang”.
 
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa menurut ketiga kamus itu, datuk sama dengan kakek. KBBI menyebut aki (dari bahasa Sunda), demikian juga Kamus Dewan dalam keterangannya terhadap datuk sebagai panggilan, menyebut aki juga.

Oleh karena itu, jelas bahwa dalam bahasa Indonesia dan Melayu sebutan silsilah ke atas hanya sampai buyut – itu pun kalau kita tidak mempertimbangkan kemungkinan istilah buyut baru masuk kemudian sebagai pengaruh dari bahasa Sunda (atau lainnya). Bahasa Indonesia, begitu juga bahasa Malaysia, tidak mempunyai istilah untuk menyebut orang tua buyut dan ke atasnya. Dalam bahasa Sunda (yang saya tahu), orang tua buyut disebut bao dan orang tua bao disebut jangga atau canggah dan di atasnya disebut jangga wareng atau canggah wareng. Di atas jangga wareng masih ada udeg-udeg dan kait siwur. Menurut R.A. Danadibrata, dalam Kamus Basa Sunda (Bandung, 2006), di atas canggah wareng masih ada udeg-udeg, gantung siwur, gerpak, tambak galeng, dengdeng, gumbleng, dan amleng.

Artinya sampai tingkat 13 dari ayah atau ibu, masih ada namanya dalam bahasa Sunda, walaupun tidak lagi terdengar digunakan sehari-hari.
 
Akan tetapi, kecuali ke atas dan ke bawah, ke samping juga silsilah masih ada namanya. Adik ayah dan ibu disebut paman (kalau laki-laki) atau bibi (kalau perempuan). Dalam bahasa Melayu disebut pakcik (kalau laki-laki) dan makcik (kalau perempuan). Akan tetapi, makcik tidak masuk lema Kamus Dewan, walaupun tercantum dalam KBBI dan KUBI. Buat kakak ayah dan ibu dalam bahasa Melayu tidak ada sebutan yang umum. Mereka disebut sesuai dengan kedudukannya dalam urutan persaudaraan dengan ayah atau ibu, misalnya pak long (sulung), pak ngah (tengah), pak teh (adik kelima atau keenam ayah atau ibu). Sebutan uak (k-nya tidak diucapkan) adalah pinjaman dari bahasa Sunda ua. Istilah pakde yang tercantum dalam KBBI merupakan pinjaman dari bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa sebenarnya ada juga sebutan khusus kepada kakak perempuan bapak atau ibu, ialah bude. Kata itu juga menjadi lema KBBI.

Anak-anak saudara ayah atau ibu disebut saudara sepupu atau misan. Menurut KBBI, saudara misan dalam masyarakat Sunda adalah saudara senenek, sedangkan dalam masyarakat Jawa adalah saudara sebuyut. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia biasanya diartikan saudara sepupu (satu nenek atau kakek).

Istilah kemenakan digunakan untuk menyebut anak saudara. Istilah keponakan dipinjam dari bahasa Jawa atau bahasa Jakarta. Digunakan baik untuk menyebut anak kakak ataupun anak adik. Hal itu berlainan dalam bahasa Sunda. Anak kakak disebut alo sedangkan anak adik disebut suan.

Juga nama-nama keturunan dalam bahasa Indonesia mentok sampai buyut, baik ke atas maupun ke bawah, sedangkan dalam bahasa Sunda bisa sampai kait siwur bahkan sampai amleng. Akan tetapi, saya kira hampir tidak ada orang yang mencatat silsilahnya sampai sejauh itu. Berlainan dengan orang Arab yang merasa bangga menyebut nama nenek moyangnya setinggi mungkin, bangsa kita umumnya sudah merasa puas kalau tahu nama buyutnya.


No comments:

Post a Comment