13212867 / 3EA24
DI MANA ALLAH?
Artikel Buletin An-Nur
Sabtu, 26 Januari 2006
Dalam suatu pengajian selepas shalat Isya’ menjelang shalat Tarawih
pada bulan Ramadhan 1426 H yang lalu di suatu masjid di daerah Depok,
seorang penceramah melontarkan satu pertanyaan kepada para hadirin yang
hadir pada saat itu. Pertanyaan yang dilontarkan sangat simpel dan
sederhana, yaitu, “Di mana Allah?”. Mendengar pertanyaan yang mungkin
belum pernah terdengar, para jamaah yang hadir tersebut diam dan tidak
terdengar ada jawaban. Lalu penceramah tersebut mengulangi lagi
pertanyaannya, “Bapak-bapak, Ibu-ibu Di mana Allah?”. Setelah ditunggu
beberapa saat tidak terdengar juga ada jawaban. Namun tanpa disangka dan
diduga dua anak kecil yang berada di shaf (barisan) paling belakang
duduk di dekat pintu masuk khusus kaum pria, mereka berdua dengan
wajahnya yang sangat polos menjawab, “Allah di langit”.
Dalam kesempatan lain dan di tempat lain, penceramah tersebut juga
mengajukan pertanyaan yang sama kepada jamaah yang hadir, “Di mana
Allah?”. Ada seorang hadirin yang menjawab, “Allah ada di mana-mana dan
Dia ada di setiap tempat”, ada lagi yang mencoba untuk menjawab: “Allah
ada di hati kita”. Ada lagi yang lainnya mengatakan, “Allah tidak punya
tempat”, yang lain lagi mengatakan, “Kita tidak boleh menanyakan hal
itu”.
Allah subhanahu wata’ala adalah Rabb yang haq dan wajib kita ibadahi
dan bahkan kita diperintahkan oleh-Nya secara rutin untuk melaksanakan
ibadah shalat sebanyak 5 kali sehari semalam sebagai bentuk penyembahan
dan pengabdian kita yang sangat agung kepada-Nya. Hal itu kita lakukan
agar kita tergolong sebagai hamba-Nya yang bertauhid.
Dan juga setiap do’a yang kita panjatkan dan kita munajatkan
kepada-Nya setiap ada waktu dan kesempatan, lalu kita tengadahkan kedua
tangan kita “ke atas” yang mengindikasikan bahwa Dzat yang kita sembah
adalah Maha Tinggi.
Masih banyak pemahaman aqidah kaum muslimin ini yang perlu
diluruskan, sebab mayoritas mereka belum mengenal Allah subhanahu
wata’ala secara benar, artinya aqidah mereka masih banyak yang
menyimpang, hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang salah
ketika menjawab pertanyaan yang terlihat sederhana seperti; “Di mana
Allah?”. Ini mengindikasikan bahwa aqidah kaum muslimin masih cukup
memprihatinkan dan perlu adanya pembenahan.
Kekeliruan semacam ini sebagai akibat dari informasi-informasi yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan yang ditiupkan oleh manusia-manusia
yang kurang paham dalam bidang aqidah, sehingga merusak fithrah kaum
muslimin.
Padahal untuk menjawab pertanyaan “Di mana Allah,” tidak mesti
seseorang itu berkapasitas sebagai seorang ulama, sebab fithrah manusia
yang masih suci akan mampu memberikan jawaban yang tepat. Sebagai contoh
adalah kasus di atas; dua anak kecil mampu memberikan jawaban yang
benar dan tepat ketika menjawab pertanyaan “Di mana Allah?”.
Marilah kita simak pula sebuah hadits shahih berikut ini, “Seorang
shahabat Nabi yang bernama Mu’awiyah Bin Hakam As-Sulamy radhiyallahu
‘anhu, dia memiliki seorang budak wanita yang ingin dia merdekakan, akan
tetapi sebelum dia dimerdekakan oleh Mu’awiyah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengajukan dua pertanyaan kepada budak wanitanya
tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadanya, “Di
mana Allah ?” Lalu dijawab oleh budak wanita itu, “(Allah itu) di
langit”, lalu Nabi bertanya lagi, “Siapa saya ini?”, dijawab oleh budak
wanita itu, “Engkau adalah Rasulullah.” Setelah itu Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam pun bersabda, “Merdekakan dia, karena dia seorang
mukminah (yang beriman dan beraqidah secara benar)”.
Hadits ini diriwayatkan oleh jama’ah Ahli Hadits, diantaranya; Imam
Muslim, Imam Malik, Imam Abu Daud, Imam Nasa’i, Imam Ahmad, Imam
Baihaqi, Imam Daarimi, Imam Ibnu Khuzaimah, dan lain-lain.
Hadits ini merupakan hujjah (dalil) yang sangat kuat untuk membantah
orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wata’ala ada di
mana-mana dan Dia berada di setiap tempat. Hadits ini menerangkan dengan
sangat jelas tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala “di atas
langit”.
Imam Adz-Dzahabi setelah membawakan hadits ini di dalam kitabnya
“Al-’Uluw,” beliau berkomentar: “Yang demikian itulah pendapat kami
(artinya dia sejalan dengan hadits di atas), setiap ada orang yang
bertanya, “Di mana Allah? “Maka dia (orang yang ditanya) dengan
fitrahnya akan segera menjawab, “(Allah ) Di atas langit!” Di dalam
hadits ini ada dua permasalahan:
Pertama; Disyari’atkan seorang muslim bertanya (kepada saudaranya), “Di mana Allah?”,
Kedua; Jawaban orang yang ditanya (hendaklah mengatakan), “Di atas langit!” Barangsiapa yang mengingkari dua permasalahan ini maka dia berarti telah mengingkari Al-Musthafa (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Pertama; Disyari’atkan seorang muslim bertanya (kepada saudaranya), “Di mana Allah?”,
Kedua; Jawaban orang yang ditanya (hendaklah mengatakan), “Di atas langit!” Barangsiapa yang mengingkari dua permasalahan ini maka dia berarti telah mengingkari Al-Musthafa (Muhammad) shallallahu ‘alaihi wasallam”.
Imam Ad-Darimi membawakan hadits ini dalam kitabnya, Ar-Raddu ‘ala
Al-Jahmiyyah. Lalu beliau berkata, “Di dalam hadist Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam ini dijelaskan dengan terang, bahwa apabila
seseorang tidak mengetahui keberadaan Allah yang berada di atas langit
dan bukan di bumi, maka dia bukanlah seorang mukmin. Tidakkah engkau
perhatikan bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menjadikan tanda keimanannya (budak perempuan) tersebut adalah
pengetahuannya tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala di atas
langit.
Penjelasan tentang istiwa’ (bersemayam) Allah di atas ‘Arsy di
langit-Nya telah ditegas-kan oleh Allah sendiri di tujuh tempat dalam
Al-Qur’an; (1) S. Thaha ayat 5, (2) S. Al-A’raf ayat 54, (3) S. Yunus
ayat 3, (4) S. Ar-Ra’du ayat 2, (5) S. Al-Furqon ayat 59, (6) S.
As-Sajdah ayat 4 dan (7) S. Al-Hadid ayat 4.
Madzhab Salaf dan orang-orang yang mengikuti mereka, seperti imam
yang empat: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad Bin
Hambal dan Imam-Imam yang lainnya, termasuk Imam Abul Hasan al-Asy’ary,
mereka berkeyakinan sama dan mengimani keberadaan Allah subhanahu
wata’ala di atas langit dan bersemayam di ‘Arsy-Nya sesuai dengan
kebesaran dan keagungan-Nya.
Dalam kitab Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah karya Syaikh Muhammad Jamil
Zainu hafidzahullah, beliau menukilkan beberapa ungkapan ulama dari
kalangan As-Salafush Sholeh tentang keberadaan Allah subhanahu wata’ala
di atas ‘Arsy-Nya, diantaranya:
Imam Al-Auza’iy , berkata, “Kami dari kalangan Tabi’in mengatakan;
sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala Yang Maha Mulia sebutan-Nya berada
dia atas ‘Arsy-Nya, kami mengimani sifat-sifat-Nya sebagaimana apa
adanya menurut Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Imam Abu Hanifah , berkata, “Barangsiapa yang berkata saya tidak tahu
apakah Rabb-ku berada di langit atau di bumi, maka sungguh dia bukan
seorang muslim, karena Allah subhanahu wata’ala sesungguhnya telah
berfirman, (Ar-Rahmân ‘Alal-’Arysistawâ, (artinya: Dzat Yang Maha
Pengasih bersemayam di atas ‘Arsy), dan ‘Arsy-Nya itu di atas langit
yang tujuh. Jika dia mengatakan; sesungguh Dia (Allah subhanahu
wata’ala) di atas ‘Arsy-Nya bersemayam, akan tetapi saya tidak tahu
apakah ‘Arsy itu berada di langit atau di bumi, maka dia juga bukan
seorang muslim, karena sesungguhnya dia telah mengingkari bahwa Allah
subhanahu wata’ala berada di atas langit. Dan barangsiapa yang
mengingkari keberadaan-Nya di langit, berarti dia telah kufur, karena
sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala adalah Dzat yang paling tinggi di
atas segala yang tinggi, dan para Hamba-Nya meminta (berdo’a) kepada-Nya
dengan menengadahkan tangan ke atas dan bukan ke bawah).
Imam Asy-Syafi’i , berkata, “Sesungguhnya Allah subhanahu wata’ala
berada di atas ‘Arsy-Nya (dan ‘Arsy-Nya itu) di atas langit-Nya, Dia
mendekat kepada makhluk-Nya, (bagaimanapun caranya) sesuai dengan yang
Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia (langit
pertama), (bagaimanapun caranya) sesuai dengan yang Dia kehendaki”.
Imam Malik , ketika beliau ditanya tentang bagaimana cara “Istiwa`”
(bersemayam) Allah subhanahu wata’ala di atas ‘Arsy-Nya, beliau
menjawab: “Istiwa` maknanya sudah jelas/terang (tidak perlu ditanyakan
lagi), sedangkan bagaimana cara Allah ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya
tidak dapat kita ketahui, beriman dengan sifat Istiwa’ Allah ini adalah
wajib dan bertanya tentang hal itu (yaitu bagaimana cara Allah
ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya) adalah bid’ah. Lalu Imam Malik ,
memerintahkan agar orang yang bertanya tersebut dikeluarkan dari
majlisnya, sebab dia telah ragu terhadap salah satu sifat Allah
subhanahu wata’ala yaitu ber-Istiwa’ di atas ‘Arsy-Nya, sedangkan hal
itu tidak pernah ditanyakan oleh generasi sebelum mereka.
Imam Ibnu Khuzaimah (beliau ini imamnya para imam), berkata di dalam
kitabnya At-Tauhid, “Kami beriman dengan pemberitaan wahyu dari Allah
subhanahu wata’ala, sesungguhnya Pencipta kami (Allah), Dia berada di
atas ‘Arsy-Nya, kami tidak akan mengganti/mengubah firman Allah
subhanahu wata’ala tentang hal ini, dan kami tidak akan mengucapkan
perkataan yang tidak pernah dikatakan oleh Allah kepada kami, (tidak)
sebagaimana kaum yang menghilangkan sifat-sifat Allah subhanahu wata’ala
seperti kaum Jahmiyyah yang telah berkata: sesungguhnya Allah Istaula
(berkuasa) di atas ‘Arsy bukan Istawa (beristiwa’), mereka ini dengan
lancangnya telah mengubah firman Allah subhanahu wata’ala yang tidak
pernah diucapkan Allah kepada mereka. Sikap mereka ini sebagaimana sikap
kaum Yahudi yang telah diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala
untuk mengucapkan perkataan, “Hiththotun” (ampunilah dosa-dosa kami)
tapi mereka justru mengucapkan, “Hinthotun” (gandum), seperti itulah
kaum Jahmiyyah”. (Abu Abdillah Dzahabi).
Filed under: – alsofwah.or.id