Sunday, March 29, 2015

TULISAN 2 BAHASA INDONESIA 2

IVAN FITRA WICAKSONO
13212867
3EA24



SINGKAT KATA

Eko Endarmoko*, KOMPAS, 4 Okt 2014


Kependekan kata atau lebih lazim disebut singkatan pernah membuat gundah sekelompok pemerhati bahasa Indonesia karena pemakaiannya, terutama di media cetak dan media sosial, dianggap sudah sangat keterlaluan sampai-sampai mengancam bakal merusak bahasa Indonesia. Bagaimana bisa bahasa Indonesia—rumah bersama segenap penduduk Indonesia—menjadi rusak oleh pemakaian singkatan? Namun, apakah yang mendorong orang memendekkan kata?

Bagi sebagian orang, ketika pikiran berjalan lebih cepat dari perbuatan menulis, atau bicara seorang narasumber lebih laju dari pencatatan oleh penanya, dorongan menyingkat kata sukar dihindari. Maka meluncurlah bentuk-bentuk singkat yg (yang), th (tahun), sbg (sebagai), sdg (sedang), dst (dan seterusnya). Namun, singkatan mungkin juga hadir karena ada keperluan menggambarkan konsep dasar kuantitas, satuan, atau unsur kimia. Sudah lama kita mengenal lambang huruf, seperti gr (gram), l (liter), m (meter), kg (kilogram), atau Fe (ferum). Singkatan dapat pula terbentuk karena ada keperluan menyimbolkan sesuatu, memadatkan nama diri. Misalnya, akronim ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Ikapi (Ikatan Penerbit Indonesia), dan FISIP (fakultas ilmu sosial dan ilmu politik).

Di negeri yang kebanyakan kalangan melek hurufnya lebih menghargai ”singkat” dalam pengertian ’segera’, ’jalan pintas’ daripada ”hemat”, ”padu”, ”praktis” ini, kita melihat produksi singkatan kian bertumbuh pesat. Sampai sekitar sepuluh tahun lalu saja—tercatat dalam sebuah kamus yang mengambil data dari sumber-sumber tercetak (Agata Parsidi, Kamus Akronim, Inisialisme, dan Singkatan, edisi kedua dengan suplemen. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1994)—kependekan kata dalam bahasa Indonesia sudah mencapai jumlah lebih dari 33.000 (belum termasuk dari ragam bahasa slang yang berbau porno dan kurang sopan). Saya mendapat kabar baru-baru ini, pada 2009 jumlah itu sudah membiak jadi 57.000!

Malah judul Akronim, Inisialisme, dan Singkatan tadi dapat menjelma akronim Aids. Akronim judul itu seperti hendak menegaskan bahwa singkatan dapat dipadankan dengan sejenis virus maut.
  • Saya pikir ada benarnya bahwa kegemaran menciptakan akronim dan singkatan kini sudah terlampau berlebihan, malah kadang mencerminkan kemalasan tanpa nalar.
Singkatan dan akronim mudah sekali kita temukan berserak di media massa dan media sosial. Pemakaiannya, apalagi sampai merajalela, di media massa tak pelak punya dampak hebat menularkan dengan cepat kegandrungan menyingkat-nyingkat kepada khalayak luas. Namun, media sosial punya dampak lebih hebat lagi. Fakta bahwa lewat media sosial seseorang dapat menyampaikan isi kepala dan isi hatinya serentak kepada banyak orang lain dengan seketika jelas menyediakan jalan lebar bebas hambatan buat singkatan menyebar sampai sejauh-jauhnya. Belum lagi bila kita perhitungkan efek gema, bagaimana satu bentuk yang diterima seseorang diteruskan olehnya kepada sekian banyak orang lain, dan begitulah seterusnya proses penyebaran berlangsung dalam efek ganda.

Apakah lalu kita dapat menyimpulkan bahasa Indonesia terganggu, atau malah rusak, karenanya? Saya tidak begitu saja percaya.
  • Munculnya sekian banyak singkatan bagi saya justru memberi satu bukti bahwa bahasa itu hidup, dinamis—ada kreativitas di sana.
Saya lebih percaya bahasa Indonesia sanggup menjaga diri sendiri dengan melaksanakan aturan main bagi dirinya, sebuah aturan yang sudah cukup berumur, sudah melembaga. Saya tidak percaya sebab tidak pernah ada kaidah yang mengatur pembuatan singkatan. Tiap orang bebas membuat singkatan sesuka hati, satu hal yang agak mirip dengan neologisme dalam laras bahasa gaul yang umumnya fana.
  • Ini membawa argumen berikut, semua bentuk singkatan tunduk pada hukum dasar bahasa, yaitu kesepakatan atau konvensi, syarat mutlak bagi keberterimaan dan kelangsungan hidup mereka.
Singkat kata, berapa pun jumlah singkatan lahir tiap hari, mereka pasti tersaring alamiah dari sebuah kancah bernama bahasa Indonesia. Dan, karena sudah dijinakkan, pastilah tak bakal merongrong. Apalagi merusak.


 
*) Munsyi, Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia

TULISAN 1 BAHASA INDONESIA 2

IVAN FITRA WICAKSONO
13212867
3EA24


ARABISASI DAN KEINDONESIAAN

Ahmad Sahidah*, Majalah Tempo, 22 Sep 2014

Dalam rubrik “Memoar” majalah Tempo edisi 25-31 Agustus 2014, Ali Audah dianggap sebagai pekerja bahasa yang piawai karena berhasil menerjemahkan buku Arab ke dalam bahasa Indonesia yang baik. Menariknya, betapapun penerjemah ini berketurunan Arab, lelaki kelahiran Bondowoso tersebut berusaha untuk tidak kearab-araban. Sepertinya ia sadar bahwa bahasa itu hanya alat berkomunikasi, sehingga terjemahan dalam bahasa setempat itu mungkin. Betapapun bahasa Indonesia banyak menyerap kata dari bahasa rumpun Semitik ini, bahasa Melayu sejatinya mengandaikan asal-muasal Sanskerta yang kental.

Masuknya bahasa Arab ke dalam bahasa Melayu tidak bisa dilepaskan dari sejarah kesultanan di alam Nusantara. Hanya, arabisasi berlaku pasang-surut sesuai dengan keadaan politik di negeri khatulistiwa ini. Menariknya, penyerapan lema Arab tidak hanya menyerbu ke dalam bahasa Indonesia, tapi juga ke bahasa daerah, seperti Madura dan Jawa. Kalau tak jeli mencermati, kita hampir tidak mengenal nama-nama Jawa yang berasal dari Arab, seperti Ramelan dari Ramadhan, serta nama-nama Madura, seperti Mamang dari Rahman.
  • Adakah nama-nama Arab mesti mengandaikan makna semantik yang serba gagah dan filosofis? Nabi hanya meminta kita memberikan nama yang baik untuk anak.
Tentu secara etis baik itu terkait dengan kepantasan dalam budaya masyarakat tertentu. Bayangkan, nama sahabat Nabi, Hurairah, yang berarti kucing, digunakan sebagai nama untuk anak kita dalam bahasa Madura dan Jawa! Ketika sahabat Nabi sering disebut oleh bilal menjelang khotbah Jumat, mungkin jemaah akan terentak apabila disebutkan bahwa hadis yang terkait dengan larangan berbicara di tengah khotbah diriwayatkan oleh binatang yang mengeong.

Tentu bahasa Arab mengandaikan dunia kebahasaan yang luas, yang mencakup daerah-daerah sekitarnya, termasuk Mesir dan Afganistan. Kalau tetangga saya menamai anaknya Sayuti, sejatinya ia mengandaikan nama sarjana muslim terkenal Imam Sayuti, yang merujuk pada nama daerah di Mesir, Asyut. Aneh, buah hati lahir di Madura, tapi anaknya diberi nama salah satu kawasan di Negeri Piramida. Itu berbeda dengan Ahmad, yang mengandaikan nama makna terpuji, sehingga penyandang nama diharapkan menjadi orang yang baik karena melakukan hal-hal terpuji. Boleh jadi penamaan Sayuti merupakan impian si ayah agar anaknya menjadi orang saleh yang bermanfaat bagi orang lain karena buah karyanya dibaca orang ramai.

Hal serupa, nama Danis(h) menunjuk pada orang Denmark. Mungkin karena kedengarannya enak di telinga, nama ini acap diberikan oleh orang tua pada anak. Tentu, mengingat tokoh sarjana muslim tak hanya didominasi oleh orang Arab, tapi juga oleh orang seantero dunia, tak ayal nama Afgan juga digunakan karena dirujuk pada tokoh Pan-Islamisme, Jamaluddin al-Afghani. Sebenarnya Arab sendiri telah mengarabkan banyak kata asing, yang diterima muslim sebagai kearaban. Teman sekelas saya bernama Dahlawi, yang menunjuk pada tokoh sarjana dari India, Al-Kandahlawi, padahal sama sekali tak berdarah negeri Buddha Gautama itu.

Menariknya, dalam lagu Oréng Madhureh (Orang Madura) yang menyebar di dunia maya, Al-Abror, penggubahnya, menertawai kebiasaan warga Pulau Garam yang memanggil nama-nama Arab dalam dialek lokal, seperti Abdullah (Dulla), Ahmad (Asmat), dan Sulaiman (Suliman). Bukan hanya nama diri, nama benda seperti masjid yang diucapkan mahjid tentu menambah panjang daftar kegemaran mereka mengubah pelafalan Arab yang bagus karena diambil dari Al-Quran ke dalam logat lokal. Kalau logika ini dipakai, tentu nama Andrew yang dilafalkan André dengan lidah kita juga tak elok karena tak fasih dari segi pengucapan. Sebenarnya kita mengalami banyak keanehan dengan penyerapan nama-nama Arab yang tidak konsisten dengan struktur bahasa Arab. Misalnya panggilan Zainal yang berasal dari dua kata Zain al-‘Abidin. Kalau setia dengan susunan morfologis Arab, kita seharusnya memanggil Zain, bukan Zainal.

Malang, betapapun pembawa lagu memuji sikap terpuji orang Madura, seperti menjaga hubungan baik dengan tetangga, bahkan merawat hubungan dengan saudara yang jauh, itu tak cukup. Bahasa Arab standar yang tercemar akibat logat yang tak fasih bisa merusak kesucian kitab suci. Mungkin nyanyian ini sekadar hiburan, tapi diam-diam kepercayaan tentang kefasihan makin kuat sejalan dengan islamisasi bahasa. Dulu, ketika kecil, kami sering mendengar Pangéran untuk merujuk pada Tuhan, tapi hari ini orang kampung tidak lagi menyebutnya. Malah, kata pasa (puasa) dianggap tak mencerminkan kata shiyam, sehingga orang menyebutnya ashiyam (a- adalah imbuhan yang sama dengan me-).

Sebagaimana kehendak untuk makin dekat dengan agama melalui bahasa, orang Madura tetap tidak bisa menanggalkan jejak tradisi. Penyebutan ashiyam menunjukkan penggabungan imbuhan lokal yang dianggap tak fasih dan kata dasar Arab yang murni. Tak pelak, teman saya berkelakar bahwa kita tak bisa sepenuhnya menjadi Arab seraya memberi contoh nama Goenawan Mohamad, yang semestinya Nafi’ Muhammad.


*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

TUGAS 1 - SOFTSKILL BAHASA INDONESIA 2

IVAN FITRA WICAKSONO
13212867
3EA24

PENALARAN DAN PENALARAN DEDUKSI DAN INDUKSI





PENALARAN
           
         Penalaran adalah proses berpikir yang ditolak dari pengamatan indera (pengamatan empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian. Berdasarkan pengamatan yang sejenis juga akan terbentuk proposisi-proposisi yang sejenis, berdasarlan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, orang menyimpulkan sebuah proposisi baru yang sebelumnya tidak diketahui. Proses inilah yang disebut menalar. Dalam penalaran, proposisi yang dijadikan dasar penyimpulan disebut dengan premis (antesedens) dan hasil kesimpiulannya disebut dengan konklusi (consequence).
            Penalaran mempunyai ciri-ciri, yaitu:
1.      Dilakukan dengan sadar.
2.      Didasarkan oleh sesuatu yang sudah diketahui.
3.      Sistematis.
4.      Terarah dan bertujuan.
5.      Menghasilkan kesimpulan yang dapat berupa pengetahuan, keputusan, dan sikap terbaru.
6.      Sadar tujuan.
7.      Premis berupa pengalaman, pengetahuan, ataupun teori yang didapatkan.
8.      Pola pemikiran tertentu.
9.      Sifat empiris nasional.

Syarat-syarat kebenaran dalam penalaran:
1.      Jika seseorang melakukan penalaran, maksudnya tetntu adalah untuk menemukan kebenaran. Kebenaran dapat dicapai jika syarat-syarat dalam menalar dapat dipenuhi. Suatu penalaran bertolak dari pengetahuan yang sudah dimiliki seseorang akan sesuatu yang memang benar atau sesuatu yang memang salah.
2.      Dalam penalaran, pengetahuan yang dijadikan dasar konklusi adalah premis. Jadi semua premis harus benar. Benar di sini harus meliputi sesuatu yang benar secara formal maupun material. Formal berarti penalaran memiliki bentuk yang tepat, diturunkan dari aturan-aturan berpikir yang tepat. Sedangkan material berarti isi atau bahan yang dijadikan sebagai premis tepat.

Penalaran dibagi menjadi 2, yaitu:

1.      Penalaran Induksi
Penalaran induksi adalah proses penalaran untuk menarik kesimpulan berupa prisnsip atau sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus. Ada 3 jenis penalaran induksi, yaitu:

1.      Penalaran Generalisasi
Penalaran ini dimulai dengan peristiwa-peristiwa khusus untuk mengambil kesimpulan secara umum. Generalisasi adalah pernyataan yang berlaku umum untuk semua atau sebagian besar gejala.
Contoh Generalisasi:
-       Pemakaian bahasa Indonesia di seluruh daerah di Indonesia dewasa ini belum dapat dikatakan seragam. Perbedaan dalam struktur kalimat, lagu kalimat, ucapan terlihat dengan mudah. Pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa pergaulan sering dikalahkan oleh bahasa daerah. Diungkapkan persurat kabaran, radio, dan TV, pemakaian bahasa Indonesia belum lagi dapat dikatskan sudah terjaga baik. Para pemuka kita pun pada umumnya juga belum memperlihatkan penggunaan bahasa Indonesia yang terjaga baik. Fakta-fakta barusan menunjukkan bahwa pengajaran bahasa Indonesia perlu ditingkatkan.
-   Jika dipanaskan, besi memuai. Jika dipanaskan, lembaga memuai. Jika dipanaskan, emas memuai. Jika dipanaskan, platina memuai.

Macam-macam Generalisasi:
a.      Generalisasi Sempurna
Adalah generalisasi dimana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki. Generalisasi macam ini memberikan kesimpulan amat kuat dan tidak dapat diserang. Tetapi tetap saja yang belum diselidiki.
Contoh: Semua bulan masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31 hari. Dalam penyimpulan ini, keseluruhan fenomena, yaitu jumlah hari pada setiap bulan dalam satu tahun diselidiki tanpa ada yang ditinggalkan.
b.      Generalisasi Tidak Sempurna
Yaitu generalisasi berdasarkan sebagian fenomena untul mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki.
Contoh: Setelah kita menyelidiki sebagian bangsa Indonesia  adalah manusia yang suka bergotong-royong kemudian diambil kesimpulan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang suka bergotong-royong, maka penyimpulan ini adalah generalisasi sebagian (probabilitas).

Penalaran Generalisasi bertolak dari satu atau sejumlah fakta (fenomena atau peristiwa) khusus yang mempunyai kemiripan untuk membuat sebuah kesimpulan. Sejumlah peristiwa khusus dibuat dalam bentuk kalimat, kemudian pada akhir paragraf diakhiri dengan kalimat yang berisi generalisasi dari peristiwa. Peristiwa khusus yang disebutkan pada bagian awal.

2.      Penalaran Analogi
Yaitu proses membandingkan dari dua hal yang berlainan berdasarkan kesamaannya kemudian berdasarkan kesamaannya itu ditarik suatu kesimpulan. Kesimpulan yang diambil dengan analogi, yaitu kesimpulan dari pendapat khusus dengan beberapa pendapat khusus yang lain, dengan cara membandingkan kondisinya.
Tujuan Penalaran Analogi:
-          Meramalkan kesamaan
-          Menyingkap kekeliruan
-          Menyusun sebuah klasifikasi
Contoh Analogi: Kita banyak tertarik dengan planet mars, karena banyak persamaannya dengan bumi kita. Mars dan Bumi menjadi anggota tata surya yang sama. Mars mempunyai atmosfir seperti bumi. Temperaturnya hampir sama dengan bumi. Unsur air dan oksigennya juga ada. Caranya mengelilingi matahari menyebabkan pula timbulnya musim seperti bumi. Jika bumi ada makhluk hidup, tidaklah mungkin ada makhluk hidup di planet Mars.
3.      Hubungan Kausalitas
Kausalitas merupakan prinsip sebab-akibat yang pasti antara segala kejadian, serta bahwa setiap kejadian memperoleh kepastian dan keharusan serta kekhususan-kekhususan eksistensinya dari sesuatu atau berbagai hal lainnya yang mendahuluinuya, merupakan hal-hal yang diterima tanpa ragu dan tidak memerlukan sanggahan.
Contoh: Jika ada udara, makhluk hidup akan hidup.

2.      Penalaran Deduksi
Suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pembentukkan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian, konteks penalaran deduksi tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.
Jenis penalaran deduksi yang menarik kesimpulan secara tidak langsung yaitu: 
 
1.      Silogisme Kategorial
Silogisme yang terjadi dari tiga proposisi. Silogisme kategorial disusun berdasarkan klasifikasi premis dan kesimpulan yang kategoris. Kondisional hipotesis yaitu bila premis minornya membenarkan anteseden, simpulannya membenarkan konsekuen. Bila minornya menolak anteseden, simpulannya juga menolak konsekuen. Premis yang mengandung predikat dalam kesimpulan disebut premis mayor, sedsngkan premis yang mengandung subjek dalam kesimpulan disebut premis minor.
Contoh:
Semua mahasiswa adalah lulusan SMA
Fajar adalah mahasiswa
Fajar lulusan SMA

2.      Silogisme Hipotesis
Silogisme yang terdiri atas premis mayor yang berproposisi kondisional hipotesis. Menurut Parera (1991:131), Silogisme hipotesis terdiri atas premis mayor, premis minor, dan kesimpulan. Akan tetapi premis mayor bersifat hipotesis atau pengandaian dengan jika konklusi tertentu terjadi, maka kondisi yang lain akan menyusul terjadi. Premis minor menyatakan kondisi pertama terjadi atau tidak terjadi.
Contoh:
Jika tidak ada udara, makhluk hidup akan mati.
Udara tidak ada.
Jadi, makhluk hidup akan mati.

3.      Silogisme Alternatif
Silogisme yang terdiri atas premis mayor berupa proposisi alternatif. Yaitu bila premis minornya membenarkan salah satu alternatifnya, simpulannya akan menolak alternatif yang lain. Proposisi minornya adalah proposisi kategorial yang menerimaatau menolak salah satu alternatifnya. Konklusi tergantung dari premis minornya.
Contoh:
Supplier Sharp berada di Bandung atau Sukabumi.
Supplier Sharp berada di Bandung.
Jadi, Supplier Sharp tidak berada di Sukabumi.

4.      Entimen
Silogisme ini jarang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam tulisan maupun tulisan. Yang dikemukakan hanya premis minor dan kesimpulan. Sejenis silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk menimbulkan keyakinan dalam sebuah entimen, penghilangan bagian dari argumen karena diasumsikan dalam penggunaan yang lebih luas. Entimen kadang-kadang digunakan untuk menjelaskan argumen yang tidak lengkap dari bentuk selain silogisme.
Contoh:
Proses fotosintesis memerlukan sinar matahari.
Pada malam hari tidak ada matahari.
Pada malam hari tidak mungkin ada proses fotosintesis.











Referensi:
elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/filsafat_ilmu/bab6-penalaran.pdf